Marah?

Bahasa, Catatan harian, Message, Opinion, Portofolio, Thought

Berawal dari sebuah jawaban Pak Revi Soekatno di lini masa Quora saya dari pertanyaan “Mengapa ada orang yang ketika marah mendadak menjadi lebih sopan dan berbicara formal (baku) dari biasanya?”. Saya jadi tertarik untuk membahasnya.

Sebelumnya silakan baca-baca jawabannya di sini.

Bahasa baku biasanya saya gunakan ketika menulis, baik dalam tugas, blog, terkadang status. Saat berbicara dengan orang lain jelas jarang, tergantung lawan bicaranya siapa, sih. Namun setelah melihat pertanyaan dan jawaban di atas, saya jadi berpikir “Wah, iya juga, ya,”.

Melihat ke belakang, ternyata tidak jarang saya menggunakan bahasa baku ketika sedang marah. Bisa saya gunakan dengan orang yang membuat saya marah, atau bisa juga menggugah saya untuk menjadikannya sebuah tulisan. Apa yang saya tangkap dari hal tersebut adalah:

  • Menciptakan Jarak

Setuju dengan jawaban Pak Revi. Walau kadang tanpa sadar, penggunaan bahasa baku secara tiba-tiba, sukses membuat jarak antara saya dengan lawan bicara. Biasanya mereka akan kikuk dan segan. Di sisi lain, saya merasa ini juga dapat menjadi proteksi. Sambil menatap langsung mata lawan bicara saya dalam-dalam. Oh, atau lebih tepatnya saya yang memang terang-terangan membuat pagar sehingga mereka akan berpikir ulang sebelum melangkah maju.

  • Mengontrol Emosi

Emosi atau perasaan intens yang ditujukan pada seseorang atau sesuatu dapat berupa senang, takut, dan juga marah. Di tulisan kali ini yang saya bahas adalah kemarahan. Perbedaan jelas terlihat ketika seseorang amarahnya sedang tidak terkendali, biasanya dia menjadi lebih mudah mengeluarkan kata-kata yang tidak diperlukan. Kasar, tidak masuk akal, bersifat menyerang. Biasanya jika salah satu dikuasai amarah yang tidak terkontrol, akan lebih susah mencari jalan keluar.

Dengan bahasa baku, kemarahan saya jadi lebih terkendali. Kata dan kalimat yang saya gunakan menjadi lebih baik. Temponya juga menjadi lebih teratur, sehingga memberi saya waktu sedikit lebih banyak untuk berpikir dan menata ulang masalah yang harus dipecahkan. Akhirnya saya berhasil mengeluarkan kata-kata yang tepat, didengar dengan baik, dan tersampaikan maksudnya. Biasanya jadi lebih tajam langsung ke intinya.

  • Elegan

Bahasa baku memang begitu elegan menurut saya. Walau jarang dituturkan jika memang tidak perlu, tapi saya berharap orang-orang bisa menggunakannya dengan baik saat dibutuhkan. Jika dalam obrolan sehari-hari saja tidak banyak yang menggunakan, tentu ini menjadi semakin elegan jika digunakan saat marah. Walau kadang penuturnya terlihat mengerikan, mereka yang berbicara formal saat marah malah bisa terlihat lebih cerdas dan dewasa.

Jika emosi saya tuangkan dalam sebuah tulisan, itu membuat saya teringat kepada Elizabeth Bennet. Karakter favorit saya dalam salah satu roman terpopuler sepanjang masa karya Jane Austen, Pride and Prejudice. Setelah membaca buku ini, karakter Lizzy seperti merasuk dalam tulisan-tulisan saya. Tata bahasanya pun begitu, terbawa dalam percakapan formal saya dengan orang lain. Setidaknya itu yang membuat saya merasa lebih kuat.


Pengalaman saya merespons seseorang yang sedang menuturkan amarahnya pada saya (dan tentu saya juga ikut marah) atau memaki-maki saya, yaitu dengan bahasa yang lebih baku, tatapan tajam dan dingin, raut datar. Napas saya lebih stabil, saya tetap bisa berpikir, kata-kata yang saya keluarkan terdengar sangat masuk akal. Berbeda ketika saya mengagungkan emosi yang padahal tujuannya tidak jelas. Seperti, apa gunanya saya marah-marah dengan membuat lawan bicara saya tertusuk oleh kata-kata kasar saya? Bukankah yang saya inginkan sebuah penyelesaian? Kok malah sekedar menuruti kepuasan dan mengikuti bisikan setan?

Menurut saya, jika kita tidak bisa mengendalikan amarah, yang menjadi rugi ya kita sendiri. Malu jelas, terdengar konyol dan terlihat tidak terkontrol. Capek sudah pasti, berpikir jernih pun tak mampu. Tidak harus dengan berbicara formal atau baku. Pilih saja cara terbaik versi kalian. Saya sendiri harus berusaha lebih keras lagi dalam mengontrol amarah.

Namun, jangan menjadi terlalu keras juga dengan berbahasa baku. Kadang menulis panjang menjelaskan maksud dengan bahasa baku juga dapat menjadi sangat buruk. Alih-alih terlihat sopan, itu lebih terbaca seperti marah, menuntut, dan angkuh versi baku. Sungguh tidak lebih baik sebenarnya. Sebaiknya jika ada masalah rumit selesaikan dengan tatap muka atau secara lisan. Karena jika sekedar tulisan akan banyak menimbulkan persepsi.

Di sisi lain, berbahasa baku baik dalam keadaan emosi apapun ternyata juga bisa membawa sebuah hubungan menjadi lebih dekat, loh. Malah kalau sudah terbiasa bisa-bisa lupa untuk berbahasa gaul. Rasanya seperti sedang membuat adegan di novel saja.

Kalau kalian, biasanya berbahasa baku ketika sedang apa, nih?

Sekian, dah!

Leave a comment